Friday 9 October 2015

Tauladan Buruk Bernama Bonek FC

Hingga Senin (28/9) malam, Bonek FC masih menjadi salah satu trending topic di jagat Twitter. Jutaan orang, khususnya yang berada di Indonesia, seolah tak pernah berhenti membicarakan klub yang awalnya bernama Persebaya United ini. Topik pembahasan mereka tak lain adalah keputusan kontroversial Bonek FC yang memilik kalah walk out (WO) saat berjumpa dengan Sriwijaya FC, Minggu (27/9) sore. Leg kedua babak delapan besar turnamen Piala Presiden ini, dilangsungkan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang.

Sekadar mengingatkan saja, Bonek FC memutuskan untuk mundur dari arena laga setelah wasit Jerry Eli memberikan hadiah penalti untuk tuan rumah Sriwijaya FC di menit ke-13. Wasit asal Bogor itu menganggap bek Firly Apriansyah menyentuh bola dengan tangan di kotak terlarang. Meski dalam tayangan ulang jelas menampakkan jika bola mengenai bahu eks bek Persepam Madura Utama itu. Bonek FC sendiri dalam posisi unggul 1-0 setelah Ilham Udin Armaiyn mencetak gol di menit keenam.

Keputusan WO ini memantik reaksi dari kalangan netizen. Mayoritas mereka memberikan komentar yang negatif tentang sikap yang diambil manajemen dan tim pelatih Bonek FC. Mereka tak ragu menyebut tim ini (maaf) tidak jantan, pengecut bahkan tidak dewasa. Menurut logika para pemerhati sepakbola di dunia maya, jikalau penalti itu akhirnya gagal diselamatkan kiper Jandri Pitoy, Bonek FC sebenarnya masih unggul agregat 2-1 atas Laskar Wong Kito, julukan Sriwijaya FC. Artinya, kesempatan untuk melenggang ke semifinal masih terbuka lebar.

Sayangnya logika sederhana itu tak ada di kamus Bonek FC. Kekecewaan yang sudah membuncah kepada sang pengadil, membuat mereka gelap mata. Mereka seolah tak sadar bahwa selain mempermalukan diri sendiri, sikap mengundurkan diri di tengah laga yang sedang berlangsung, juga memberikan contoh yang sangat buruk kepada para pemain mudanya. Apalagi dari 18 pemain Bonek FC yang tercantum di lembar daftar susunan pemain (DSP), tujuh di antaranya berusia di bawah 21 tahun.

Ketujuh pemain tersebut adalah, Putu Gede Juni Antara (20 tahun), M. Fatchurohman (19 tahun), Ilham Udin Armaiyn (19 tahun), Evan Dimas Darmono (20 tahun), Zulfiandi (20 tahun), Sahrul Kurniawan (20 tahun) dan Hargianto (19 tahun). Ya, mereka semua adalah para pemain alumni Tim Nasional (Timnas) U-19 yang menjuarai turnamen Piala AFF U-19 tahun 2013 lalu.

Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya yang berjudul Developmental Psycology (1980), membagi masa-masa perkembangan psikologi manusia dalam 10 kategori. Dengan rata-rata usia masih di bawah 21 tahun, maka para pemuda yang dimiliki Bonek FC ini masih tergolong dalam kategori masa remaja, atau adolesence. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol. Pemilikiran mereka semakin logis, abstrak dan idealistis. Mereka juga masih dalam tahap pencarian identitas.

Manajemen Bonek FC seolah tak sadar bahwa mereka telah memberikan contoh yang tidak patut kepada para aset berharga Indonesia ini. Bonek FC dengan penuh rasa percaya diri mengatakan, keputusan WO adalah pelajaran positif bagi para pemain muda. "Justru ini contoh fair play kepada pemain muda," kata sekretaris tim Bonek FC, Rahmad Sumanjaya kepada Bola.net. "Kami bersikap demikian untuk menegakkan hukum sepakbola. Harus ada yang melawan iblis meski iblis tak bisa mati," seloroh pria berkacamata ini.

Sekarang, kita patut berdoa agar para pemain pemain muda ini tak menganggap keputusan WO sebagai tindakan protes atas kinerja wasit, adalah sesuatu yang benar. Jangan sampai kejadian ini mereka serap sebagai pelajaran. Semoga Evan Dimas dan kolega tak pernah memiliki pikiran bahwa jika sudah sangat kecewa dan ingin melawan pengadil, maka WO adalah keputusan terbaik. Kita juga harus yakin, meski tak terucap oleh lisan, para pesepakbola harapan bangsa ini sebenarnya ingin main menjadikan WO sebagai sikap para pengecut.

Jangan sampai di kemudian hari, para pemain muda ini mempunyai mental tempe. Mereka harus menjadi pesepakbola yang berani, tangguh, pekerja keras, bermental baja dan tetap rendah hati. Mereka harus mencerminkan sosok kesatria di lapangan hijau. Mungkin kita, khususnya Bonek FC, bisa belajar banyak dari Tim Nasional (Timnas) Inggris.

Anda sekalian pasti ingat ketika Inggris bertemu Jerman di babak 16 besar Piala Dunia 2010. Sebuah tendangan spektakuler yang dilesakkan Frank Lampard, gagal dihalau kiper Jerman Manuel Neuer. Meski telah melewati garis gawang setelah membentur mistar, namun gol itu dianulir oleh pengadil. Wasit menganggap bola belum melewati garis gawang. Keputusan wasit memantik protes dari para pemain dan offisial tim. Tapi jangan kira Timnas Inggris melakukan aksi mundur seperti yang dilakoni oleh Bonek FC.

Fabio Capello, arsitek Inggris saat itu, juka tak pernah memberikan isyarat agar pasukannya meninggalkan lapangan karena kecewa dengan sikap wasit. Capello tahu, andai saja gol itu disahkan, tentu jalannya pertandingan akan berbeda. Namun ia dengan legawa menerima keputusan wasit meski timnya harus menelan kekalahan menyakitkan dengan skor 1-4 atas Der Panzer. Kepulangan mereka ke Inggris disambut bak pahlawan. Mereka pun pulang dengan kepala tegak.

Semoga pelajaran dari Timnas Inggris bisa diteladani oleh para pemain muda Bonek FC. Mereka harus tahu bahwa sepakbola adalah olahraga laki-laki. Dan laki-laki itu pantang mundur meski sekeras apapun rintangan yang menghalanginya.

Bola.net, 29 September 2015
http://www.bola.net/editorial/tauladan-buruk-bernama-bonek-fc.html?1443464180