Wednesday 19 August 2015

Berantem Mulu, Kapan Kerjanya?

Ketika sedang asyik chatting dengan kesayangan, pijar merah di smartphone tiba-tiba berkedip. Sejurus kemudian, muncul pesan broadcast dari salah satu kawan. Bunyi pesan itu adalah sebuah statement dari salah satu tokoh masyarakat tentang Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi. Nama Imam Nahrawi disorot menyusul pernyataannya yang membolehkan judi bola. Bak sebuah ranjau, beberapa kawan juga menulis status yang isinya menyindir pernyataan menpora tersebut. Bahkan ada pula yang menyertakan link video yang ditunggah di situs Youtube.

Jika melihat video berdurasi 2 menit 22 detik ini, tak salah bila Menpora Imam mendapat sorotan tentang pernyataannya itu. ''Saya ingin menyatakan bahwa, silahkan mereka berjudi bola. Itu hak mereka. Tapi jangan pernah hasil judi atau cara judi itu masuk kepada pengaturan skor dan masuk ke lapangan. Cukup di tribun aja mereka berjudi main remi. Tapi kalau sudah masuk ke lapangan, mengatur wasit, mengatur pemain, maka dimana sesungguhnya pondasi revolusi mental terjadi,'' kata Menpora Imam.

Keseleo lidah yang dialami Menpora Imam langsung dijadikan sebagai bahan bully bagi kubu PSSI, atau kroni beserta kelompok yang mendukungnya. Menteri asal Bangkalan ini dalam posisi tersudut. Pernyataan Menpora Imam seolah menjadi counter attack dari PSSI yang beberapa bulan terakhir dipojokkan oleh kasus tuduhan pengaturan skor. "Ini pernyataan yang sangat fatal bagi seorang Menteri. Yang seakan menyuruh orang berjudi di sepak bola tidak apa-apa,'' kata Wakil Ketua Umum PSSI, Hinca Pandjaitan.

"Sejak tahun 2014 seluruh pengurus PSSI telah menandatangi pakta integritas terhadap segala macam pengaturan skor. PSSI juga menggandeng Sportradar yang merupakan badan penyedia sistem untuk mencegah federasi olahraga, liga, maupun klub, dalam memerangi masalah pengaturan skor yang umumnya dilakoni oleh rumah-rumah judi legal ataupun ilegal," sambung Hinca seperti yang dilansir Sindonews, 14 Agustus kemarin.

Perseteruan antara PSSI dengan Kemenpora pun memasuki episode baru. Kedua pihak ini seolah tak pernah lelah untuk berseteru. Tak ada yang mau mengalah. Semua saling menyalahkan. Pertanyannya, apakah dengan perang urat syaraf ini ini, mereka dapat membersihkan sepakbola Indonesia dari tangan-tangan mafia pengaturan skor? Anda-anda sekalian masih ingat dengan upaya suap yang dilakukan oleh Johan Ibo kepada penggawa Pusamania Borneo FC kan? Apakah kasus ini pernah selesai?

Anda-anda sekalian juga masih ingat dengan pernyataan orang yang berinisial BS tentang praktek pengaturan skor di Indonesia, kan? Dan, sama seperti kasus Johan Ibo, apakah ada tindak lanjut atas kesaksian dari BS? Mana janji Kemenpora dan PSSI untuk mengusut tuntas dua topik terhangat itu? Kok sampai dengan saat ini kita-kita masyarakat sepakbola ini belum pernah membaca koran yang menyantumkan headline "Sepakbola Indonesia Bersih Dari Mafia."

Padahal dalam pernyataannya di atas, Hinca sudah mengatakan bahwa PSSI sudah menggandeng Sportradar untuk membersihkan sepakbola Indonesia dari tangan-tangan pengaturan skor. Lalu gimana hasilnya? Masa iya masih bisa kecolongan oleh 'pemain baru' seperti Johan Ibo? Bareskrim Mabes Polri juga kabarnya sudah menanggapi laporan BS dan berjanji untuk menelusuri. "Pokoknya apapun juga yang bentuk-bentuk kejahatan, termasuk suap, kalau memang ada pasti kita akan membantu siapapun juga. Apalagi persepakbolaan di Indonesia ini milik rakyat," ucap Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charliyan di Surabaya, 17 Juni lalu. Sayang, sampai dengan saat ini belum ada hasil yang signifikan.

Agaknya kedua kubu yang saling berseteru ini harus direvolusi mental. Harus diruwat. Sudah cukup banyak mereka berbicara, menebar janji-janji yang belum jelas realisasinya. Bukan kah orang-orang bijak sudah mengajarkan bahwa diam adalah emas. Jadi kenapa masih saja berkoar-koar saling tuding, saling larang dan saling merasa paling benar? Nggak mbois blas. Sikap kayak gitu sudah kuno dan nggak kekinian banget. Masyarakat bola Indonesia juga sudah cerdas. Mereka juga sudah capek. Mereka hanya butuh tindakan nyata, dan cepat.

Vietnam adalah negara yang layak dijadikan uswatun hasanah untuk masalah membersihkan sepakbola dari jerat mafia. Di Vietnam, semua jajaran, mulai dari federasi sepakbolanya, pemerintah dan pihak kepolisian, bersatu untuk membereskan masalah ini. Pelaku-pelakunya mereka tangkap. Mereka hukum berat supaya memberikan efek jera. Mereka juga nggak hobi pencitraaan di media tuh. Mereka bekerja dalam diam, dalam kesunyian. Namun menyuguhkan yang nyata. Jika  PSSI-nya Vietnam saja bisa bersatu dengan pemerintahnya, seharusnya Indonesia juga bisa, kan?

Bola.net, 18 Agustus 2015

Friday 14 August 2015

Cun Li Se dan Keabadian LA Lakers

"It's unbelievable how much you don't know about the game you've been playing all yout life." Kata-kata dari Mickey Mantle ini membuka film tentang olahraga yang dibintangi Brad Pitt, Moneyball. Bagi Anda yang seorang movieholic, pasti sudah mengenal film yang dirilis tahun 2011 ini. Moneyball bercerita tentang Oakland Athletics yang menorehkan tinta emas dalam sejarah bisbol Amerika Serikat.

Athletics memulai kompetisi dari abu. Sebagai tim medioker, mereka harus merelakan kepergian bintang mereka, seperti Jason Giambi, Johnny Damon dan Jason Isringhausen. Pada akhirnya tim semenjana ini adalah yang pertama membubuhkan kemenangan beruntun terpanjang dalam sejarah American League (AL), yakni 20 kali. Rekor 20 winning streak memang tak membawa Athletics pada gelar juara, tapi catatan itu menempatkan mereka pada keabadian.

Namun bukan bisbol yang akan kita bahas. Melainkan basket. Para pecinta basket pasti tahu bagaimana cerita tentang dahsyatnya penampilan Los Angeles Lakers pada penyelenggaraan National Basketball Association (NBA) musim 1971-1972. Lakers berhasil menenangkan 33 pertandingan beruntun tanpa kalah satu kalipun. Rekor itu mereka catatkan sejak 5 November 1971 hingga 7 Januari 1972. Lakers menutup musim dengan gelar juara dengan 69 kemenangan dari total 82 laga yang mereka mainkan pada musim itu.

Awalnya perjuangan 'orang danau' yang berhasil mencapai keabadian itu, tak disangka oleh sejumlah kalangan. Maklum, meski diperkuat sejumlah legenda seperti Wilt Chamberlain, Elgin Baylor, Jerry West, Pat Riley, Gail Goodrich dan Happy Hairston, namun beberapa dari mereka sudah memasuki masa udzur. Golden age-nya sudah lewat. Chamberlain dan West misalnya. Saat itu keduanya sudah berusia 35 dan 33 tahun. Bahkan Elgin Baylor sudah menginjak usia 37 tahun. Cedera menjadi momok yang kerap menghantui ketiga pemain senior ini.

Sebelum kompetisi musim 1971-1972 dimulai, banyak orang yang memprediksi bahwa cincin juara NBA akan jatuh kepada Boston Celtic atau Milwaukee Bucks. Apalagi Bucks diperkuat sang super star NBA pada saat itu, Kareem Abdul-Jabbar. Adalah seorang Bill Sharman yang membuat Lakers menjadi kekuatan yang menakutkan. Tangan dingin Sharman menjadikan penggawa veteran Lakers, menjelma sebagai tim yang unstoppable alias tidak bisa dihentikan. Sebanyak 33 pertandingan mereka lakoni dengan kemenangan. Wow, amazing.

Akhirnya pada 26 Maret 1972, kemenangan gemilang atas Seattle SuperSonics dengan 124-98, mengantarkan tim yang identik dengan warna ungu dan emas ini sebagai kampiun NBA musim itu. Rekor 33 kemenangan beruntun akhirnya masuk dalam kategori immortal. Sampai dengan saat ini, belum ada satupun tim NBA yang mampu menyamai apalagi melewati rekor tersebut.

Lebih dari empat dasawarsa berselang, muncul sebuah tim basket profesional dari Kota Surabaya yang mencoba meniti keabadian. Namanya Cun Li Se atau yang beken dengan sebutan CLS Knights. Tak bermaksud mendiskreditkan, tapi bila dibandingkan dengan Satria Muda, Pelita Jaya dan Aspac Jakarta, nama CLS Knights jelas bukan tandingan mereka. Dari segi materi pemain dan keuangan saja, tim kesatria ungu masih berada di bawah ketiga tim big three tersebut.

Sebelum kompetisi IndiHome NBL Indonesia musim 2014-2015 dimulai, publik basket tanah air dibuat gembar dengan kabar mundurnya CLS Knights dari keikutsertaan. Faktor dana menjadi alasan mereka untuk absen dari kompetisi basket terakbar di Indonesia tersebut. Surat pengunduran diri sudah diajukan ke Dewan Komisaris NBL Indonesia, 13 hari menjelang kompetisi bergulir. Mendadak hastag #saveCLSKnights sudah menjadi trending topic di situs jejaring sosial, Twitter.

Dewan Komisaris menolak pengunduran diri itu. Mengacu pada peraturan pelaksanaan NBL Indonesia Bab V pasal 3 poin 1 tentang pengunduran diri, perubahan, dan penambahan klub, disebutkan bahwa klub yang mundur dari NBL Indonesia, harus mengajukan permohonan secara tertulis dengan alasan yang kuat kepada Commissioner dan Dewan Komisaris NBL Indonesia selambat-lambatnya 60 hari sebelum liga dimulai. CLS Knights akhinya tetap berkompetisi di IndiHome NBL Indonesia musim 2014-2015.

CLS Knights berjalan tertatih-tatih di awal musim. Penampilan mereka fluktuatif dan tidak konsisten. Tapi perlanan kemenangan demi kemenangan berhasil mereka gapai. Tim asuhan Kim Dong-won menjelma menjadi sebuah tim yang tangguh dan haus akan kemenangan. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 14 kemenangan beruntun berhasil mereka catatkan. Rekor winning streak ini juga sukses melewati catatan Satria Muda yang mencetak 13 kemenangan beruntun di awal musim 2013-2014.

Dalam sebuah wawancara, Wahyu Widayat Jati, asisten pelatih CLS Knights menjelaskan bahwa rekor tersebut menunjukkan perbaikan yang terjadi pada Dimaz Muharri dan kawan-kawan. Sosok sang pelatih, yakni Mr Kim juga tidak boleh dikesampingkan. Kaleb Ramot Gemilang, power forward CLS Knights menggambarkan bagaimana Mr Kim mengubah CLS Knight menjadi sebuah mesin penghancur.

"Dalam latihan kami diminta untuk mengabaikan rekor itu. Terus bekerja keras dan fokus untuk menjadi lebih baik," ucap Kaleb. Sayang rekor tersebut akhirnya terhenti di tangan Pelita Jaya dengan skor tipis 84-88, 8 April lalu. Ironisnya, CLS Knights tumbang ketika mereka bermain di kandang sendiri, DBL Arena. Pupus sudah harapan CLS Knight untuk meneruskan cerita keperkasaan mereka. Hasil di seri Surabaya membuat CLS Knight harus puas finish di posisi ketiga musim reguler.

Seluruh penggawa, tim pelatih, offisial bahkan para pendukung pasti sangat kecewa dengan kegagalan untuk meneruskan rekor dan gagal menjadi juara musim reguler IndiHome NBL Indonesia. Tapi rasa kecewa tak sepatutnya berlangsung terus menerus. Sebab rekor winning streak bisa menjadi modal CLS Knights untuk berkiprah di Championship Series 2015 yang akan dimulai 2-10 Mei, di Hall Basket Senayan, Jakarta.

Bila pasukan Mr Kim mampu mengonversi kekecewaan di musim reguler menjadi sebuah kekuatan pada babak Championship Series, bukan tiak mungkin sang kesatria ungu akan menjadi juara di musim kelima penyelenggaraan IndiHome NBL Indonesia. Bukankah Michael Jordan pernah berujar, "It’s about work before glory, and what’s inside of you. It’s doing what they say you can’t."

Beritajatim.com, 2 Mei 2015

Thursday 13 August 2015

Kemerdekaan Bersepakbola yang Terrenggut

Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Persebaya tak umumnya Jakarta yang sarat akan kemacetan. Mulai pagi, siang, sore hingga malam hari, sekitar 3 juta orang tumpah ruah di berbagai sudut kota. Macet adalah 'penyakit' yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya. Masalahnya, kemacetan bukan hanya terjadi pada hari kerja saja. Kota Surabaya juga amat sangat padat di akhir pekan.

Pada waktu weekend, jalanan di sepanjang kota selalu dipenuhi ratusan ribuan kendaraan. Tujuan mereka bermacam-macam. Ada yang rekreasi ke luar kota, ada yang hang out di pusat kota. Atau sekadar jalan-jalan di mall-mall megah yang bertebaran di Kota Pahlawan. Bagi penulis, akhir pekan adalah waktu untuk melakukan ritual pulang ke kampung halaman. Sabtu sore, usai menuntaskan segala kerjaan, penulis menggeber motor kesayangan menuju tanah kelahiran, Gresik.

Demi terhindar dari kemacetan sekaligus mempersingkat waktu, maka berkendara di jalan tikus merupakan pilihan terbaik. Tapi, cerita menjadi berbeda ketika sejumlah jalan atau gang-gang yang biasanya menjadi shortcut, justru ditutup karena ada kegiatan untuk memperingati hari kemerdekaan. Sialnya, hal ini tak hanya terjadi di satu-dua jalan saja, melainkan di lima jalan alternatif. Mau gimana lagi, niatnya mempersingkat waktu, malah harus legawa karena berkendara Surabaya-Gresik selama lebih dari 1 jam.

Ternyata kejadian ini juga menimpa salah satu kawan. Ia juga harus balik kanan setelah jalan yang dilewatinya, ditutup karena ada kegiatan warga. Karena marah bukan solusi terbaik, maka curhat di status media sosialnya adalah jalan keluar untuk mendinginkan kepala. "Kemerdekaan berkendara terenggut oleh portal dan acara lomba yang menutup jalan," tulisnya. Kata-kata ini cukup menggelitik dan sarat ironi. Apalagi lomba yang menyebabkan warga menutup jalan, sebenarnya dilakukan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70. Masa iya peringatan hari kemerdekaan, justru merenggut kemerdekaan warganya.

Sepakbola yang Terrenggut

Memasuki ulang tahun kemerdekaan ke-70 pada 17 Agustus nanti, Indonesia nyatanya masih jauh dari apa yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Bergudang-gudang permasalahan belum terurai tuntas. Entah itu urusan listrik yang masih belum merata, atau perihal korupsi yang susah diberantas. Kemerdekaan juga belum sepenuhnya berlaku dalam sepakbola Indonesia. Rasanya sudah cukup melelahkan melihat situasi sepakbola kita yang tak kunjung kondusif. Sepakbola kita seolah sedang terjajah. Bagaimana tidak, untuk bermain bola saja, susahnya minta ampun.

Saat ini kita disajikan dengan konflik antara dua kubu, yakni kubu PSSI dan Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Perseteruan antara dua organisasi yang sama-sama dipimpin oleh orang dari Jawa Timur (Jatim) ini, pecah di awal tahun 2015 lalu. Imbas dari perseteruan ini cukup terasa. Sejak kurang lebih tiga bulan lalu, kompetisi sepakbola profesional berhenti Indonesia. Kita hanya disajikan pertandingan di luar lapangan hijau, antara PSSI dan Kemenpora. Konflik ini seolah memperpanjang catatan kelam sepakbola Indonesia.

Kita pernah menjadi saksi atas lahirnya dualisme PSSI. PSSI pecah dua kubu. Kubu yang pertama dipimpin oleh Djohar Arifin Husin, sedangkan PSSI sempalan yang saat itu bernama KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia), dipimpin oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti. Kompetisinya pun pecah. PSSI Djohar menggeber Indonesia Premier League (ISL). Sedangkan KPSI dengan Indonesia Super League (ISL). Tim Nasional (Timnas) kita pun terpecah menjadi dua. Timnas Indonesia di bawah naungan PSSI Djohar, dibesut oleh Nil Maizar. Sedangkan tim tandingan bentukan KPSI, ditangani oleh Alfred Riedl.

Dualisme membuat kondisi serba tidak enak. Kondisi ini juga berlaku di kalangan jurnalis. Diakui atau tidak, perpecahan menjadi dua kubu memang ada. Ada yang blok kubu ini, ada yang membela kubu itu. Semua merasa kubu mereka lah yang paling benar. Rasanya kebebasan ini sudah terpenggal. Mau gerak ke kiri atau ke kanan pun nggak nyaman. Berita yang sudah cover both side pun, masih sering dianggap berat sebelah. "Kamu bela ini ya. Kamu pro kubu itu ya." Huufftttt. Sumpah nggak nyaman banget dengan permainan bola di luar lapangan ini.

Melihat konflik antara PSSI dan KPSI saja, rasanya sudah sangat melelahkan. Ini kok malah diteruskan dengan konflik PSSI dengan Kemenpora. Lalu kapan kita bermain bolanya, Pak?

Bola.net, 11 Agustus 2015

Tuesday 11 August 2015

Sarapan yang Hambar Bersama Evan Dimas



Ibu-ibu paruh baya dengan cekatan meletakkan empat piring nasi di kedua tangannya. Disodorkannya piring-piring itu kepada kami yang duduk di shaf kedua lapak soto daging miliknya. "Minumnya apa? Teh anget atau es teh?" tanya ibu itu. Seperti biasa, usai menuntaskan kewajiban liputan pagi di Lapangan SIER, penulis berserta beserta kawan jurnalis lainnya yang rutin mengintip latihan Persebaya, menghabiskan waktu santap sarapan di warung soto daging ini.

Akan tetapi, rasa soto daging hari ini tak senikmat biasanya. Terasa hambar di lidah. Seribu jurus sudah dilakukan. Mulai dari menambahkan sambal, kecap dan jeruk nipis. Tapi tetap saja rasa soto daging hari ini kurang maknyus. Dasar sudah terlanjut lapar, toh akhirnya habis juga. Hehehe. Di sela-sela makan, penulis beserta tiga rekan jurnalis berbincang tentang topik yang lagi nge-hits saat ini. Siapa lagi kalau bukan Evan Dimas.

Bak seorang detektif amatir, seorang kawan, sebut saja Tebe mencium aroma kejanggalan dalam proses trial Evan ke salah satu klub Spanyol. Bukti-bukti yang ia kumpulkan cukup logis. Satu di antaranya adalah ketidak jelasan klub yang akan dituju oleh pesepakbola asli Sidoarjo ini. Ia bicara panjang lebar tentang argumenya tersebut. Masuk akal memang. "Bukan suudzon, tapi sering liputan kriminal membuat saya terdidik seperti reserse," ucapnya reporter salah satu televisi nasional ini.

Sebelumnya, mari kita singkiran terlebih dulu asumsi tentang ketidakberesan di balik kesempatan yang diberikan kepada Evan untuk trial ke salah satu klub Spanyol. Kepergian Evan meninggalkan sedikit ganjalan di benak. Hemm, mungkin lebih tepat bila dianggap ada benang merah yang kusut, atau sengaja dibikin kusut, dalam proses keberangkatan eks kapten Tim Nasional (Timnas) U-19 ini ke Negeri Matador.

Kabar keberangkatan Evan ke Spanyol terungkap dalam sesi berlatih, Jumat (24/7/2015) pagi, atau tepat dua minggu yang lalu. Maklumat itu disampaikan oleh pelatih Ibnu Grahan di hadapan sejumlah pemain dan perangkat tim lainnya, sesaat sebelum latihan dimulai. Sontak nama Evan menjadi trending topic di kalangan rekan-rekannya. Evan sendiri tak hadir dalam latihan Jumat pagi itu. Mata ikan di telapak kaki mengganjal aktivitasnya.

Gagal menemui Evan di lapangan, penulis coba menghubunginya lewat sambungan telepon. Betapa terkejutnya penulis usai mendengar pengakuan Evab bahwa ia tak tahu tentang kesempatan trial tersebut. Awalnya penulis mengira bahwa Evan coba menyembunyikan kabar gembira ini. Tapi pemuda 20 tahun ini memiliki track record bagus. Evan dikenal sebagai pribadi yang pemalu dan jujur. Jadi, pengakuan Evan bahwa ia tak tahu akan ke Spanyol, bisa jadi memang benar adanya.

Nah, dari sejumlah fakta yang berkembang selama dua minggu ini, ada tiga poin yang membuat kepergian Evan ke Spanyol terasa janggal.

Pertama, Dirahasiakannya klub tujuan Evan. Mulai Jumat dua minggu lalu, hingga Jumat pagi ini, Gede Widiade selaku otak dibalik trial Evan di Spanyol, masih tidak mau membocorkan destinasi Evan. Dua minggu yang lalu, Gede beralasan bahwa pihak klub Spanyol menginginkan trial ini tak terlalu diekspose berlebihan. Jawaban berbeda disampaikan oleh Gede, Jumat (7/8/2015) dini hari tadi. Disodori pertanyaan serupa, Gede lagi-lagi berkelit. "Klub yang dituju ya klub yang mengundang, Mas," tulis Gede dalam pesan di Blackberry Messenger (BBM). "Mas, aku lupa beneran. Kalau kota tempat trial, aku coba cari," lanjut Gede.

Kedua, Evan tak tahu menahu tentang trialnya. Seperti yang sempat tertuang di atas, Evan sempat mengaku tak tahu bahwa ia akan terbang ke Spanyol untuk menjalani trial. Proses pengurusan visanya pun ternyata baru dilakukan minggu lalu. Bukan hanya itu, Evan juga tak tahu dimana ia akan trial nanti. Jebolan Mitra Surabaya ini buta tentang klub yang memberikan kesempatan untuk unjuk gigi. "Saya masih belum tahu juga, Mas," tulis Evan dalam BBM ke Beritajatim.com pagi ini. Pertanyaan besar pun muncul. Bagaimana Evan sampai tidak tahu klub yang akan dituju?

Sebagai pembanding, penulis coba bertanya ke Andik Vermansyah. Sebelum bergabung dengan Selangor FA pada tahun 2013 lalu, Andik sempat menjalani trial di Amerika Serikat bersama DC United, dan Jepang di Ventforet Kofu. Sebelum berangkat, Andik mengaku sudah diberi tahu oleh manajernya. Ia juga diminta untuk mempersiapkan diri. Dengan masa persiapan yang cukup, Andik diharapkan tampil maksimal selama trial. Hasilnya, Andik sebenarnya sudah diminta untuk bergabung dengan kedua klub tersebut. Tapi ia menolak dengan berbagai alasan, utamanya kedekatan dengan keluarga. Ia akhirnya memutuskan untuk menerima pinangan Selangor. Masalahnya, proses yang dilampaui Andik tidak terjadi pada Evan Dimas.

Ketiga, Trial Evan terkesan sangat mendadak. Evan sepertinya baru tahu kalau ia akan terbang ke Spanyol pada dua pekan yang lalu. Jelas ia tidak punya waktu persiapan yang cukup. Kondisi kebugaran Evan diragukan bisa mencapai 100 persen selepas masa istirahat tim Persebaya selama kurang lebih dua bulan. Dalam sebuah wawancara usai sesi berlatih Persebaya, Selasa (4/8/2015), Evan mengaku bahwa ia sebenarnya tidak siap ke Spanyol. "Sebenarnya belum siap. Tapi optimis saja. Bagi saya pribadi, kalau mau ke Eropa, paling tidak harus persiapan dulu. Sebab disana persaingannya sangat ketat. Pemainnya bagus-bagus," ungkap Evan.

Akhirnya, terlepas cerita apapun yang ada di baliknya, kepergian Evan ke Spanyol adalah alarm bagi bapak-bapak penguasa sepakbola Indonesia bahwa mereka sehaharusnya menyudahi konflik yang tak kunjung usai ini. Iba rasanya bila melihat bakat-bakat hebat sepakbola Tanah Air, harus terbengkalai dan bermain di turnamen antar kampung (tarkam). Oleh karena itu, Evan harus ‘diselamatkan’ dengan cara dibukakan kesempatan untuk merumput di luar Indonesia. Sebagai teman, penulis berharap Evan menuai kesuksesan di Spanyol. "Jangan pulang ke Indonesia, sebelum kau sukses di Eropa, Jeh!"

Beritajatim.com, 7 Agustus 2015 
http://beritajatim.com/sorotan/244658/sarapan_yang_hambar_bersama_evan_dimas.html#.Vch3ZrWzmao

Monday 10 August 2015

Evan Dimas dan Pelajaran dari Carlos Tevez

Bila satu bintang telah terlahir
Takkan ada yang bisa
Menutupi sinarnya, menghalau kilaunya
Sembunyikan terangnya

Itu merupakan petikan lirik dari salah satu lagu milik mega band Indonesia, Dewa 19 yang berjudul Juara Sejati. Menurut laman Wikipedia, tembang tersebut menjadi theme song resmi Piala Dunia 2002 di Indonesia. Di waktu yang sama, band Tanah Air lainnya, yakni Padi, juga menempatkan salah satu lagunya yang berjudul, Work Of Heaven masuk dalam The Official Album of the 2002 FIFA World Cup. Kota Surabaya jelas bangga. Sebab Dewa 19 maupun Padi sama-sama lahir di Kota Pahlawan.

Surabaya, pada saat itu, sebenarnya telah melahirkan bocah yang kelak menjadi bakat besar di sepakbola Indonesia. Evan Dimas Darmono namanya. Ketika Piala Dunia 2002 diselenggarakan di Jepang dan Korea Selatan, Evan masih bau iler. Usianya baru menginjak lima tahun lebih dikit. Evan juga baru belajar menendang di lapangan sekitar kampungnya, Ngemplak, Surabaya Barat. 13 tahun setelah Dewa 19 dan Padi ‘meledakkan’ jagat musik Tanah Air lewat partisipasinya di Piala Dunia, giliran Evan yang melakukannya.

Jumat (7/8) besok, atau sekitar tiga hari lagi, Evan akan terbang ke Spanyol. Ini adalah kunjungan ketiganya selama empat tahun terakhir. Pada tahun 2012 lalu, Evan mengunjungi akademi tersohor milik Barcelona, La Masia. Ia menjadi wakil Indonesia dalam sebuah coaching clinic yang diadakan oleh salah satu apparel ‘contreng’ asal Amerika Serikat. Selang 24 purnama, ia kembali ke Barcelona di tahun 2014. Kali ini Evan datang sebagai kapten Tim Nasional (Timnas) U-19. Bersama skuat Garuda Jaya, ia sempat mencicipi aroma Negeri Matador melalui sebuah pertandingan uji coba kontra Barcelona B. Evan, dan para pemain Timnas U-19 lainnya tentunya, cukup beruntung karena Barcelona B diperkuat Luis Suarez.

Akhirnya Evan akan kembali ke Spanyol dalam akhir pekan ini. Bedanya, ia akan terbang sendiri, tidak bersama rekan-rekannya di Timnas U-19. “Ada saudaranya Pak Gede sebagai pendamping saya selama disana,” begitu kata Evan usai berlatih, Selasa (4/8) pagi. Keberangkatan Evan ke Spanyol memang tak lepas dari campur tangan Gede Widiade. Bos Persebaya inilah yang menjadi aktor di balik semuanya. Gede tak sendiri. Ia dibantu oleh salah seorang pengusaha yang ia sebut sebagai koleganya.

Meski menjadi pendukung berat Barcelona, Evan sebanarnya hanya fans layar kaca belaka, seperti pada umumnya suporter klub-klub Eropa di Indonesia. Ia tak tahu secara persis bagaimana seluk-beluk sepakbola Spanyol. Sejak kabar keberangkatannya terungkap akhir Juli lalu, Evan bahkan tak tahu bahwa ia akan ke Spanyol. Ia juga menggelengkan kepala ketika ditanya dimana klub yang akan menjajalnya. “Beneran saya nggak tahu, Mas,” kata Evan kala itu. Aneh memang. Tapi seperti itulah faktanya.

Sulung dari empat bersaudara ini mengaku benar-benar nol putul ketika ditanya tentang kesempatan trial di klub Spanyol. Ia pasrah dengan segala keputusan yang diambil Gede. Semua, dari A sampai Z, Evan manut dan tunduk dengan segala kehijakan yang diambil CEO Persebaya ini. Meski itu menyangkut masa depannya di lapangan bola. “Pak Gede yang mengurus semua. Saya ikut apa kata Pak Gede saja,” tutur Evan.

Belajar Dari Kasus Tevez dan Mascherano

Sami'na wa atho'na. Kami mendengar dan kami taat. Kalimat ini familiar di kalangan pesantren. Para santri yang mondok, diwajibkan untuk taat pada aturan pondok. Evan pun nampaknya menjunjung tinggi kata-kata tersebut. Sah-sah saja bagi Evan bila ia pasrah dan taat dengan apa yang diputuskan oleh Gede. Namun hendaknya dia juga belajar dari kasus Carlos Tevez dan Javier Mascherano. Dari kedua pemain ini, dunia akhirnya mengenal istilah ‘Third-Party' ownership, atau kepemilikan pihak ketiga. Kasus ini menyeruak awal tahun tahun 2000an lalu. Saat Tevez dan Mascherano masih unyu-unyu. Tevez dan Mascherano membawa kita mengenal sebuah perusahaan bernama Media Sports Investments (MSI) yang dimilliki Kia Joorabchian, seorang pengusaha asal Inggris berdarah Iran.

Sejak tahun 2004, Joorabchian dengan perusahaan MSI-nya menguasai 51 persen saham Corinthians. Bukan hanya itu, MSI juga mengantongi hak ekonomi sejumlah pemain, seperti Tevez (35 persen), Carlos Alberto (50 persen) dan Sebastian Dominguez (100 persen). Sedangkan untuk Mascherano, MSI bekerja sama dengan Global Soccer Agencies yang membeli pemain Corinthians. Salah satunya adalah Javier Mascherano. Seperti yang diketahui bersama, kedua pemain ini akhirnya terbang ke Inggris untuk bergabung dengan West Ham di tahun 2006.

Media di Negeri Ratu Elizabeth mulai mengendus ketidak beresan dalam transfer mereka. West Ham dituding tak benar-benar membeli kedua pemain ini. Sebab hak ekonomi Tevez dan Mascherano masih menjadi milik Joorabachian dan MSI. Tevez akhirnya hijrah ke Manchester United dengan status pinjaman. Sedangkan Mascherano berbaju Liverpool. Dari kasus Tevez dan Mascherano, kita diperkenalkan dengan sistem baru kepemilikan pemain dalam dunia olahraga, khususnya sepakbola. Sistem kepemilikan macam ini memang memantik kontra dari masyarakat. Sebab praktek ini lebih menguntungkan pihak ketiga dibanding klub yang sudah membina pemain tersebut.

Melalui artikel ini, penulis tak mengajak Anda untuk suudzon dengan niat Gede Widiade membawa Evan Dimas ke Eropa. Kita patut memberikan apresiasi ke Gede atas upayanya ‘menyelamatkan’ Evan dari kemelut sepakbola nasional yang tidak kunjung usai ini. Coba jawab pertanyaan ini. Apakah Anda tega melihat bakat besar yang mendiami tubuh Evan, harus disia-siakan dengan bermain di turnamen sepakbola antar kampung (tarkam)? Apakah Anda mau hadiah yang diberikan Tuhan bernama Evan Dimas ini, terbengkalai karena tak kunjung diputarnya roda kompetisi profesional di Indonesia?

Meski menjadi Mesiah untuk masa depan karier Evan di lapangan hijau, Gede juga tidak boleh sak karepe dewe. Haram bagi Gede untuk memanfaatkan Evan sebagai ladang bisnis, demi mengeruk keuntungan pribadi dan memperkaya pundi-pundi dolarnya. Jangan sampai di kemudian hari, kita mendengar bahwa hak ekonomi Evan ternyata dikuasai, penuh atau tidak penuh, oleh pengusaha asal Wonokromo, Surabaya ini. Penulis berharap Gede komitmen dengan pernyataan yang pernah ia lontarkan. Bahwa, “Semua pemain berhak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.” Sukses yo, Van.

Bola.net, 4 Agustus 2015

Saturday 1 August 2015

BNI Membanggakan Bangsa Lewat Bola Voli

Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo dalam sebuah kesempatan pernah berujar, "Hanya ada dua momen dimana bendera Merah Putih dikibarkan dan Indonesia Raya berkumandang di luar negeri. Pertama, ketika kunjungan kenegaraan oleh Presiden Republik Indonesia. Kedua, ketika atlet kita bermain dan menjuarai sebuah pertandingan atau event olahraga di luar negeri.

Dari pernyataan Soekarwo tersebut kita bisa belajar bagaimana pentingnya olahraga. Olahraga bukan sekadar kepentingan menang atau kalah. Bukan melulu masalah medali apa, serta bonus yang akan didapatkan. Namun melalui olahraga, kita akan berpikir serta berjuang bagaimana caranya mengharumkan nama bangsa di dunia internasional. Mengangkat derajat bangsa melalui keringat yang membanjiri arena pertandingan.

Ambil contoh Jamaika. Banyak yang mengenal negara ini sebagai tanah kelahiran musik reggae. Jamaika juga masyhur dengan legenda musik dunia, Bob Marley. Tapi sebagai dewa reggae, Marley -menurut saya - masih kalah dibanding pelari jarak pendek tercepat di dunia, Usain Bolt. Sebagai atlet, Bolt bukan hanya membesarkan negaranya di kancah dunia, fans berat Mancester United ini sekaligus menjadi inspirasi anak muda di Jamaika. Inilah yang menjadi pembeda antara Marley dengan Bolt.

Di tengah kondisi Jamaika yang masih dilanda kemiskinan, Bolt membuat hampir semua anak di negaranya bermimpi ingin mengangkat hajat hidup keluarganya dengan menjadi bintang lari. Bolt menanamkan sebuah menih yang sangat berharga, yakni harapan. Mereka, anak-anak muda di Jamaika, seolah berkata, “Kalau Bolt saja bisa sukses dan kaya raya karena olahraga, maka saya pun bisa.” Tak heran bila pembinaan olahraga, khusunya lari jarak pendek di Jamaika semakin gencar dilakukan. Nama Jamaika pun semakin harum. Bersama Kenya, mereka dikenal sebagai penguasa olahraga atletik, khususnya nomor lari.

Indonesia memang tidak memiliki pelari macam Bolt. Tapi Indonesia memiliki banyak maestro di bidang olahraga yang mampu menjadi inspirasi anak muda, sama seperti Bolt. Kita punya Rudy Hartono, Liem Swie King, Taufik Hidayat serta pasangan suami istri Alan Budikusuma dan Susi Susanti yang mengilhami ratusan ribu pebulutangkis di Indonesia. Indonesia juga bangga karena melahirkan petinju-petinju kelas dunia seperti Chris John dan Ellyas Pical. Jika bicara sepakbola, maka sosok Bambang Pamungkas layak menjadi panutan. Baik atas penampilannya di lapangan hijau, maupun kejeniusannya yang tertuang lewat sejumlah tulisan dan buku.

Dunia bola voli Indonesia pun memiliki panutan bernama Loudryans Arian Maspaitella, atau yang akrab disapa Loudry Maspaitella. Mungkin banyak yang asing dengan nama legenda hidup tim Jakarta BNI 46 ini. Maklum, dibanding Alan, Bambang atau Chris John, Loudry jelas kalah pamor. Namun untuk urusan mengharumkan negara, pria kelahiran Surabaya ini dijamin sama baiknya. Loudry adalah idola bagi pemain voli manapun yang ada di Indonesia. Dia adalah tosser yang handal, cerdik dan otak permainan timnya. Kalau boleh saya kata, tak ada tosser yang sebaik Loudry hingga dewasa ini.

Jika KH Mustofa Bisri (Gus Mus) mengidentikkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan salah satu partai politik tertentu, maka saya akan menyebut Loudry identik dengan Jakarta BNI 46. Loudry sudah menggapai banyak prestasi bersama Jakarta BNI 46. Setidaknya empat gelar juara Proliga telah  ia persembahkan untuk Jakarta BNI 46, di antaranya tahun 2003, 2005, 2006, dan 2010. Loudry juga membanggakan Indonesia dengan empat keping medali emas yang dipersembahkan dari multi-event dua tahunan, SEA Games.

Seperti yang sudah saya katakan, Loudry teramat identik dengan Jakarta BNI 46. Jadi akan sangat tidak etis jika saya mengulas prestasi Loudry tanpa berbicara banyak tentang peran BNI di bidang olahraga. Sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia, BNI merupakan satu di antara sedikit instansi, khususnya di bidang perbankan, yang peduli dengan dunia olahraga di negeri kita ini.

Jika kita ingat, dulu ada sebuah bank yang menjadi sponsor Liga Indonesia. Namun sifatnya hanya sementara. Hanya beberapa tahun saja. Beberapa waktu lalu, muncul pula bank swasta yang menjadi penyelenggara turnamen bulutangkis. Namun sekali lagi saya tegaskan, bahwa BNI berbeda dengan instansi atau bank-bank lain pada khususnya. Sebab BNI termasuk dalam kategori segelintir perusahaan yang konsisten membina olahraga.

Menurut pengamatan saya, sulit untuk menemukan instansi atau perusahaan yang sangat peduli dan konsisten membina olahraga seperti BNI. Sejak tahun 2002 lalu, BNI sudah menerjunkan tim bola voli di kancah Proliga dengan nama Jakarta BNI Phinisi. Jakarta BNI Phinisi lalu bertransformasi menjadi Jakarta BNI Taplus, untuk kemudian mantap menggunakan nama Jakarta BNI 46. Bila dikalkulasi, sudah 13 tahun BNI membina olahraga voli.

Jangan hitung soal prestasi. Selain melahirkan atlet bola voli terbaik Indonesia seperti Loudry Maspaitella, BNI juga menelurkan banyak atlet berkualitas yang nantinya akan mengikuti jejak Loudry, yakni menyuguhkan prestasi serta mengharumkan nama Bangsa Indonesia di kancah dunia lewat olahraga. Ada nilai plus lainnya. BNI turut menyediakan ladang pekerjaan bagi atletnya ketika memasuki masa pensiun kelak.

Lagi-lagi saya akan mencomot Loudry sebagai contohnya. Saat masih aktif bermain untuk Jakarta BNI 46 dan Timnas bola voli Indonesia, maupun ketika memasuki masa pensiun, Loudry sudah aktif di dunia Bank. Ia bahkan menduduki jabatan strategis di BNI. Sempat menjadi Kepala BNI Cabang Sidoarjo, kini suami R. Fortina Maulina Pasaribu didapuk sebagai Pemimpin BNI Kantor Cabang Jayapura. Loudry adalah contoh mantan atlet yang sukses. BNI juga layak menjadi contoh perusahaan yang sukses memberdayakan mantan atlet.

Well, begitu banyak peran BNI dalam dunia olahraga, khususnya bola voli. Entah sudah berapa Rupiah yang mereka keluarkan guna membina atlet bola voli, yang nantinya akan menyuguhkan prestasi untuk Indonesia. Melalui prestasi atlet binaan BNI, Bendera Merah Putih akan berkibar di luar negeri. Lewat atlet BNI pula, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di negeri orang. Terima kasih, BNI.

Pagi ini dan Cerita Tentang BS

Pagi masih sangat buta kala salah seorang teman dari Ibu Kota mengirimkan sebuah pertanyaan via Blackberry Messenger (BBM). Kawan karib yang saya kenal di Hanoi, Vietnam tersebut bertanya singkat, "Siapa BS itu, Le?" Belum sempat saya memberikan jawaban, dia kirim pertanyaan kedua, "Katanya dia dari Jawa Timur. Dirimu ngerti ora?"

Saya kemudian menyodorkan sejumlah nama sesuai dengan inisial tersebut. Nama-nama yang saya kenal atau sekadar tahu saja. Kesemuanya berasal dari Jawa Timur. Kami kemudian melakukan perbincangan singkat. Kami hanya bisa menerka tanpa dan menduga saja. Tanpa tahu siapa sebenarnya BS yang namanya sedang tenar di media massa tersebut.

Oh iya, sekadar tahu saja. Nama BS menjadi bahan pembicaraan ketika ia menjadi saksi dari sejumlah kasus suap yang melanda sepakbola Indonesia. Bahkan menurut surat kabar yang saya baca pagi ini, sejumlah tokoh sepakbola Indonesia, sudah pernah menjadi klien BS. Pengakuan BS kini sudah masuk dalam berkas Bareskrim Mabes Polri.

Back to the story, jam menunjukkan pukul 08.00, itu artinya saya harus besiap memulai aktifitas. Namun sebuah petikan tembang rancak dari Disk Jockey (DJ) asal Swedia, Aviici menggema di ruangan. Oh ternyata Lumia kuning saya berdering. Dari layar smartphone, tertulis sebuah nama mantan pesepakbola asal Surabaya.

"Tumben pagi-pagi sudah telepon," gumam saya. Kami lalu berbincang. Dan bisa ditebak, topik perbincangan kami tentu saja soal si BS tadi. Menurut penuturan kawan saya ini, ada tiga nama yang diduga sebagai BS. Ketiga BS yang disebutkan olehnya, merupakan mantan pemain sepakbola. BS pertama adalah eks pemain dan pelatih sebuah klub asal Sumatera.

BS kedua adalah mantan pesepakbola yang saat ini sedang menukangi sebuah klub Divisi Utama. Sedangkan BS yang ketiga adalah eks penggawa Timnas Indonesia jaman lawas. Dari ketiga BS tersebut, kencenderungan lebih kepada BS yang pertama. Kebetulan kawan saya ini mengaku tahu sepak terjangnya di sepakbola nasional.

Saya kemudian dijelaskan berbagai hal-hal yang menurutnya merupakan rahasia di dunia sepakbola Indonesia. Menurut karib saya ini, BS merupakan transporter. Ia adalah penghubung antara bandar dengan klub. Meski ragu jika BS juga 'bermain' sampai dengan level Timnas, tapi ia tak menampik bahwa mafia bola memang ada.

Mereka nyata. Namun sifatnya seperti udara. Udara bisa dirasa oleh semua indera. Kecuali mata. Itu karena udara memang kasat mata. Begitu pula mafia sepakbola. Usai bicara panjang lebar, muncul kekhawatiran jika pengakuan BS ini bakal menjadi angin lalu saja, sama halnya dengan kasus Pusamania Borneo FC dengan Johan Ibo.

Berbicara mengenai mafia sepakbola, Indonesia nampaknya harus belajar dari Vietnam. Negeri yang kualitas Timnasnya sudah jauh meninggalkan Indonesia tersebut, sebenarnya pernah berhadapan dengan masalah yang serupa. Bedanya, federasi sepakbola Vietnam berani menggandeng pihak kepolisian untuk membereskan dagelan sepakbola di negerinya.

Sedangkan di Indonesia, kita sudah tahu semua bagaimana reaksi dan sikap PSSI ketika kasus Johan Ibo mencuat. Sampai dengan detik ini, tak ada tindakan konkret dan serius dari PSSI untuk membereskan masalah tersebut. Padahal, seingat saya sih, PSSI pernah mengungkapkan bahwa mereka sudah menjalin kerjasama dengan Sportradar untuk memberangus mafia bola. Hasilnya?

Well, sang surya sudah meninggi. Waktunya beraktifitas. Selamat pagi BS. Sepakbola Indonesia, sehat?

17 Juni 2015