Thursday 13 August 2015

Kemerdekaan Bersepakbola yang Terrenggut

Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Persebaya tak umumnya Jakarta yang sarat akan kemacetan. Mulai pagi, siang, sore hingga malam hari, sekitar 3 juta orang tumpah ruah di berbagai sudut kota. Macet adalah 'penyakit' yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya. Masalahnya, kemacetan bukan hanya terjadi pada hari kerja saja. Kota Surabaya juga amat sangat padat di akhir pekan.

Pada waktu weekend, jalanan di sepanjang kota selalu dipenuhi ratusan ribuan kendaraan. Tujuan mereka bermacam-macam. Ada yang rekreasi ke luar kota, ada yang hang out di pusat kota. Atau sekadar jalan-jalan di mall-mall megah yang bertebaran di Kota Pahlawan. Bagi penulis, akhir pekan adalah waktu untuk melakukan ritual pulang ke kampung halaman. Sabtu sore, usai menuntaskan segala kerjaan, penulis menggeber motor kesayangan menuju tanah kelahiran, Gresik.

Demi terhindar dari kemacetan sekaligus mempersingkat waktu, maka berkendara di jalan tikus merupakan pilihan terbaik. Tapi, cerita menjadi berbeda ketika sejumlah jalan atau gang-gang yang biasanya menjadi shortcut, justru ditutup karena ada kegiatan untuk memperingati hari kemerdekaan. Sialnya, hal ini tak hanya terjadi di satu-dua jalan saja, melainkan di lima jalan alternatif. Mau gimana lagi, niatnya mempersingkat waktu, malah harus legawa karena berkendara Surabaya-Gresik selama lebih dari 1 jam.

Ternyata kejadian ini juga menimpa salah satu kawan. Ia juga harus balik kanan setelah jalan yang dilewatinya, ditutup karena ada kegiatan warga. Karena marah bukan solusi terbaik, maka curhat di status media sosialnya adalah jalan keluar untuk mendinginkan kepala. "Kemerdekaan berkendara terenggut oleh portal dan acara lomba yang menutup jalan," tulisnya. Kata-kata ini cukup menggelitik dan sarat ironi. Apalagi lomba yang menyebabkan warga menutup jalan, sebenarnya dilakukan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70. Masa iya peringatan hari kemerdekaan, justru merenggut kemerdekaan warganya.

Sepakbola yang Terrenggut

Memasuki ulang tahun kemerdekaan ke-70 pada 17 Agustus nanti, Indonesia nyatanya masih jauh dari apa yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Bergudang-gudang permasalahan belum terurai tuntas. Entah itu urusan listrik yang masih belum merata, atau perihal korupsi yang susah diberantas. Kemerdekaan juga belum sepenuhnya berlaku dalam sepakbola Indonesia. Rasanya sudah cukup melelahkan melihat situasi sepakbola kita yang tak kunjung kondusif. Sepakbola kita seolah sedang terjajah. Bagaimana tidak, untuk bermain bola saja, susahnya minta ampun.

Saat ini kita disajikan dengan konflik antara dua kubu, yakni kubu PSSI dan Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Perseteruan antara dua organisasi yang sama-sama dipimpin oleh orang dari Jawa Timur (Jatim) ini, pecah di awal tahun 2015 lalu. Imbas dari perseteruan ini cukup terasa. Sejak kurang lebih tiga bulan lalu, kompetisi sepakbola profesional berhenti Indonesia. Kita hanya disajikan pertandingan di luar lapangan hijau, antara PSSI dan Kemenpora. Konflik ini seolah memperpanjang catatan kelam sepakbola Indonesia.

Kita pernah menjadi saksi atas lahirnya dualisme PSSI. PSSI pecah dua kubu. Kubu yang pertama dipimpin oleh Djohar Arifin Husin, sedangkan PSSI sempalan yang saat itu bernama KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia), dipimpin oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti. Kompetisinya pun pecah. PSSI Djohar menggeber Indonesia Premier League (ISL). Sedangkan KPSI dengan Indonesia Super League (ISL). Tim Nasional (Timnas) kita pun terpecah menjadi dua. Timnas Indonesia di bawah naungan PSSI Djohar, dibesut oleh Nil Maizar. Sedangkan tim tandingan bentukan KPSI, ditangani oleh Alfred Riedl.

Dualisme membuat kondisi serba tidak enak. Kondisi ini juga berlaku di kalangan jurnalis. Diakui atau tidak, perpecahan menjadi dua kubu memang ada. Ada yang blok kubu ini, ada yang membela kubu itu. Semua merasa kubu mereka lah yang paling benar. Rasanya kebebasan ini sudah terpenggal. Mau gerak ke kiri atau ke kanan pun nggak nyaman. Berita yang sudah cover both side pun, masih sering dianggap berat sebelah. "Kamu bela ini ya. Kamu pro kubu itu ya." Huufftttt. Sumpah nggak nyaman banget dengan permainan bola di luar lapangan ini.

Melihat konflik antara PSSI dan KPSI saja, rasanya sudah sangat melelahkan. Ini kok malah diteruskan dengan konflik PSSI dengan Kemenpora. Lalu kapan kita bermain bolanya, Pak?

Bola.net, 11 Agustus 2015