Friday 16 October 2015

Fatamorgana Sepakbola Indonesia

Rabu (14/10) kemarin, cuaca di Surabaya sedang panas-panasnya. Berdasarkan prakiraan cuaca dari Stasiun Meteorologi Klas I Juanda Surabaya BMKG Jawa Timur (Jatim), suhu Kota Pahlawan dan sekitarnya mencapai angka 35 derajat celsius. Tepat pukul 12.00, saya beranjak dari pusat kota menuju kampung halaman, Gresik. Ketika sudah sampai di Jalan Romokalisari, terpampang pemandangan yang amat menarik. Di sisi kiri, nampak dari kejauhan kemegahan Stadion Gelora Bung Tomo (GBT). Sedangkan di sisi kanan, terlihat venue 'balbalan' anyar milik warga Kota Pudak, yakni Stadion Gelora Joko Samudro (GJS).

Keberadaan Stadion GBT dan GJS mengingatkan kita akan dua bangunan olahraga yang ada di Kota Liverpool, yakni Stadion Anfield yang menjadi markas Liverpool FC, dan Stadion Goodison Park, kandang Everton FC. Kedua stadion yang berjarak kurang dari 1 kilometer ini, hanya dibatasi sebuah area terbuka bernama Stanley Park. Sementara itu, Stadion GBT dan GJS hanya terpaut jarak kurang dari 3 kilometer. Keduanya juga dipisahkan oleh Kali Lamong yang juga menjadi pemisah antara Kota Surabaya dengan Kabupaten Gresik.

Saya membayangkan bagaimana jadinya jika Persegres Gresik United dan Persebaya Surabaya menggelar sebuah pertandingan yang bersamaan, baik tanggal maupun jamnya. Stadion GBT akan menghijau oleh atribut Bonek. Sedangkan Stadion GJS diselimuti warna kebanggan Ultras Gresik, yakni kuning-biru. Yel-yel penyemangat menggelegar dari dua tempat ini. "Yo ayo, ayo Persegres. Sore ini kamu harus menang," teriak puluhan ribu Ultras Gresik yang memadati Stadion GJS. Koreo-koreo indah diperagakan oleh para penggila Laskar Joko Samudro.

Di sebrang sana, atmosfer Stadion GBT juga tak kalah bergemuruh. "Kami ini Bonek Mania. Kami selalu mendukung Persebaya. Dimana kau berada, kami selalu ada. Karena kami Bonek Mania," begitu kira-kira lirik lagu penyemangat yang dikumandangkan Arek-arek Bonek untuk mendukung Persebaya. Mexican wave membuat pertandingan semakin meriah. Ah, sungguh indah momen ini. Merinding rasanya bila melihat ritual ini dilakukan kala kondisi stadion tengah penuk sesak oleh puluhan ribu suporter.

Tengah asyik menikmati situasi ini, saya dikejutkan oleh sebuah truk kontainer yang tiba-tiba keluar dari gudang tanpa memberikan isyarat. Seketika, roda motor saya berhenti oleh cengkraman double cakram yang mulai aus. Ah sial, rupanya hanya fatamorgana. Cuaca sangat terik di Kota Surabaya, membuai saya hingga ke alam bawah sadar. Sampai-sampai saya lupa bahwa sepakbola profesional Indonesia sedang mati suri karena perseteruan antara pemerintah dengan induk organisasi. Kapan sepakbola Indonesia kembali sehat wal afiat seperti sedia kala? Auk dah, nggak jelas, vroh.

Hingga saat ini kita tak bisa memastikan kapan sepakbola ini akan normal lagi. Meski nampak adem ayem, tak ada pertarungan komentar, kondisinya sebernarnya sudah semakin ruwet. Banyak pemain-pemain sepakbola profesional kita, mengambil risiko dengan turun di turnamen antar kampung (tarkam). Padahal upahnya tak sebanding dengan konsekuensi cedera yang menghantui. Ada pula sejumlah insan sepakbola yang mulai meninggalkan dunia yang telah membesarkannya. Saya teringat perbincangan ringan dengan mantan pemain Persebaya Surabaya dan Mitra Kukar, M. Fachrudin. Saat ini, Fachrudin memutuskan untuk rehat dari sepakbola.

Sebenarnya ini adalah keputusan yang berat bagi pria yang pernah memperkuat PSIS Semarang dan Deltras Sidoarjo ini. Bagaimana tidak, Fachrudin sedang menapaki karier sebagai pelatih. Bapak dua anak ini pernah ditunjuk sebagai asisten pelatih klub Divisi Utama, PS Mojokerto Putra. Bersama Anang Ma'ruf. Fachrudin juga tercatat sebagai salah satu coach di SSB Simo Putra. Namun pria yang selalu tampil modis ini menjelaskan, situasi dan kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk menekuni bidang sepakbola. "Sekarang saya sedang menggagas bisnis kuliner dan chemical," tuturnya.

Fachrudin mengungkapkan, saat ini para orang tua sudah berpikir dua kali untuk menyekolahkan putranya di SSB. "Soalnya khawatir masa depan anaknya di sepakbola," beber Fachrudin. Bisa jadi, keputusan sejumlah pesepakbola muda kita yang menjadi anggota TNI, seperti Manahati Lestusen, Wawan Febrianto, M Abduh Lestaluhu, Teguh Amiruddin, M. Dimas Drajad dan Ravi Murdianto, adalah karena mereka melihat tak ada masa depan cemerlang jika kondisi sepakbola Indonesia masih 'gini-gini' saja.

Lalu, jika para orang tua saja sudah mulai ragu mempertaruhkan masa depan anaknya di dunia si kulit bundar, mungkinkah kita akan kekurangan bibit pesepakbola handal? Kalau itu terjadi, bagaimana dengan nasib cita-cita agung masyarakat sepakbola kita untuk melihat Tim Nasional (Timnas) Indonesia menjadi peserta Piala Dunia? Masa iya kita harus mengubur mimpi untuk melihat Timnas Indonesia diperkuat anak bangsa yang memiliki kualitas seperti David Beckham, Andrea Pirlo, Andriy Shevchenko, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Ahh, sudah-sudah. Ayo bangun, jangan berkhayal lagi, vroh.

Bola.net, 15 Oktober 2015

Friday 9 October 2015

Tauladan Buruk Bernama Bonek FC

Hingga Senin (28/9) malam, Bonek FC masih menjadi salah satu trending topic di jagat Twitter. Jutaan orang, khususnya yang berada di Indonesia, seolah tak pernah berhenti membicarakan klub yang awalnya bernama Persebaya United ini. Topik pembahasan mereka tak lain adalah keputusan kontroversial Bonek FC yang memilik kalah walk out (WO) saat berjumpa dengan Sriwijaya FC, Minggu (27/9) sore. Leg kedua babak delapan besar turnamen Piala Presiden ini, dilangsungkan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang.

Sekadar mengingatkan saja, Bonek FC memutuskan untuk mundur dari arena laga setelah wasit Jerry Eli memberikan hadiah penalti untuk tuan rumah Sriwijaya FC di menit ke-13. Wasit asal Bogor itu menganggap bek Firly Apriansyah menyentuh bola dengan tangan di kotak terlarang. Meski dalam tayangan ulang jelas menampakkan jika bola mengenai bahu eks bek Persepam Madura Utama itu. Bonek FC sendiri dalam posisi unggul 1-0 setelah Ilham Udin Armaiyn mencetak gol di menit keenam.

Keputusan WO ini memantik reaksi dari kalangan netizen. Mayoritas mereka memberikan komentar yang negatif tentang sikap yang diambil manajemen dan tim pelatih Bonek FC. Mereka tak ragu menyebut tim ini (maaf) tidak jantan, pengecut bahkan tidak dewasa. Menurut logika para pemerhati sepakbola di dunia maya, jikalau penalti itu akhirnya gagal diselamatkan kiper Jandri Pitoy, Bonek FC sebenarnya masih unggul agregat 2-1 atas Laskar Wong Kito, julukan Sriwijaya FC. Artinya, kesempatan untuk melenggang ke semifinal masih terbuka lebar.

Sayangnya logika sederhana itu tak ada di kamus Bonek FC. Kekecewaan yang sudah membuncah kepada sang pengadil, membuat mereka gelap mata. Mereka seolah tak sadar bahwa selain mempermalukan diri sendiri, sikap mengundurkan diri di tengah laga yang sedang berlangsung, juga memberikan contoh yang sangat buruk kepada para pemain mudanya. Apalagi dari 18 pemain Bonek FC yang tercantum di lembar daftar susunan pemain (DSP), tujuh di antaranya berusia di bawah 21 tahun.

Ketujuh pemain tersebut adalah, Putu Gede Juni Antara (20 tahun), M. Fatchurohman (19 tahun), Ilham Udin Armaiyn (19 tahun), Evan Dimas Darmono (20 tahun), Zulfiandi (20 tahun), Sahrul Kurniawan (20 tahun) dan Hargianto (19 tahun). Ya, mereka semua adalah para pemain alumni Tim Nasional (Timnas) U-19 yang menjuarai turnamen Piala AFF U-19 tahun 2013 lalu.

Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya yang berjudul Developmental Psycology (1980), membagi masa-masa perkembangan psikologi manusia dalam 10 kategori. Dengan rata-rata usia masih di bawah 21 tahun, maka para pemuda yang dimiliki Bonek FC ini masih tergolong dalam kategori masa remaja, atau adolesence. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol. Pemilikiran mereka semakin logis, abstrak dan idealistis. Mereka juga masih dalam tahap pencarian identitas.

Manajemen Bonek FC seolah tak sadar bahwa mereka telah memberikan contoh yang tidak patut kepada para aset berharga Indonesia ini. Bonek FC dengan penuh rasa percaya diri mengatakan, keputusan WO adalah pelajaran positif bagi para pemain muda. "Justru ini contoh fair play kepada pemain muda," kata sekretaris tim Bonek FC, Rahmad Sumanjaya kepada Bola.net. "Kami bersikap demikian untuk menegakkan hukum sepakbola. Harus ada yang melawan iblis meski iblis tak bisa mati," seloroh pria berkacamata ini.

Sekarang, kita patut berdoa agar para pemain pemain muda ini tak menganggap keputusan WO sebagai tindakan protes atas kinerja wasit, adalah sesuatu yang benar. Jangan sampai kejadian ini mereka serap sebagai pelajaran. Semoga Evan Dimas dan kolega tak pernah memiliki pikiran bahwa jika sudah sangat kecewa dan ingin melawan pengadil, maka WO adalah keputusan terbaik. Kita juga harus yakin, meski tak terucap oleh lisan, para pesepakbola harapan bangsa ini sebenarnya ingin main menjadikan WO sebagai sikap para pengecut.

Jangan sampai di kemudian hari, para pemain muda ini mempunyai mental tempe. Mereka harus menjadi pesepakbola yang berani, tangguh, pekerja keras, bermental baja dan tetap rendah hati. Mereka harus mencerminkan sosok kesatria di lapangan hijau. Mungkin kita, khususnya Bonek FC, bisa belajar banyak dari Tim Nasional (Timnas) Inggris.

Anda sekalian pasti ingat ketika Inggris bertemu Jerman di babak 16 besar Piala Dunia 2010. Sebuah tendangan spektakuler yang dilesakkan Frank Lampard, gagal dihalau kiper Jerman Manuel Neuer. Meski telah melewati garis gawang setelah membentur mistar, namun gol itu dianulir oleh pengadil. Wasit menganggap bola belum melewati garis gawang. Keputusan wasit memantik protes dari para pemain dan offisial tim. Tapi jangan kira Timnas Inggris melakukan aksi mundur seperti yang dilakoni oleh Bonek FC.

Fabio Capello, arsitek Inggris saat itu, juka tak pernah memberikan isyarat agar pasukannya meninggalkan lapangan karena kecewa dengan sikap wasit. Capello tahu, andai saja gol itu disahkan, tentu jalannya pertandingan akan berbeda. Namun ia dengan legawa menerima keputusan wasit meski timnya harus menelan kekalahan menyakitkan dengan skor 1-4 atas Der Panzer. Kepulangan mereka ke Inggris disambut bak pahlawan. Mereka pun pulang dengan kepala tegak.

Semoga pelajaran dari Timnas Inggris bisa diteladani oleh para pemain muda Bonek FC. Mereka harus tahu bahwa sepakbola adalah olahraga laki-laki. Dan laki-laki itu pantang mundur meski sekeras apapun rintangan yang menghalanginya.

Bola.net, 29 September 2015
http://www.bola.net/editorial/tauladan-buruk-bernama-bonek-fc.html?1443464180