Monday 12 January 2009

Misuh Masuki Era Globalisasi

Saya kaget setelah mendengar defender asing Persebaya, Anderson Da Silva memisuhi rekan senegaranya, Jairon Feliciano. Meski sebatas gurauan, namun bukan itu yang menjadi pehatian saya. Saya tak habis pikir, orang Brazil seperti Anderson bisa melafalkan --maaf-- Jancok dengan baik dan benar. Memang boleh dikatakan Anderson telah hidup di Sleman kurang lebih enam tahun.

Selama enam tahun itu, Anderson tak hanya menguasai Bahasa Indonesia, namun pemain yang sudah menginjak usia kepala tiga itu fasih berbahasa Jawa. Inilah salah satu kelebihan Anderson. Memang tak banyak orang asing yang menguasai Bahasa Indonesia apalagi Bahasa Jawa. Hanya segelintir saja yang bisa melakukan hal itu, dan Anderson salah satunya.

Dalam era globalisasi seperti ini, orientasi misuh sepertinya telah bergeser. Misuh kini telah menjadi bahasa harian warga Surabaya. Bahkan boleh dikatan, misuh telah berubah menjadi bahasa khas Kota Pahlawan. Dulu, ketika saya masih seumuran anak SD, misuh sangat diharamkan. Mau misuh saja harus diempet. Maklum daerah tempat saya tinggal terkenal sebagai basis kaum Nahdiyin yang kental dengan unsur Islam.

Ketika menginjakkan kaki ke kota Misuh, Surabaya, sedikit demi sedikit saya mulai terbawa arus juga. Dulu masih sangat tabu jika misuh. Tapi kini 'lafal' --maaf-- Jancok atau Asu seperti menjadi kebiasaan sehari-hari. Awalnya saya sedikit bingung, mana kata yang dianggap misuh dan mana yang bukan. Tapi setelah saya membaca lembaran yang dikeluarkan Cak-Cuk, saya baru mengerti rambu-rambu permisuhan. Boleh diakui, misuh seperti virus AIDS. Gampang menyebar tapi tak mempunyai obat penawar.