Tuesday 10 February 2009

Pengamat Kacangan Bicara Musik

Tak kusangka ternyata Dangdut masih laku di Gresik. Perhelatan Proliga yang akbar tambah hot dengan dentuman musik asli Indonesia itu disela timeout. Tak ayal sekitar 4000 penonton yang memadati GOR Tri Dharma berjoget ria dengan iringan lagu Pandangan Pertamanya A Rafiq(maaf kalau salah tulis nama). Tapi jangan kira saya juga ikut-ikutan goyang, saya terlalu fokus melihat permainan voli.


Dangdut memang sudah terlalu langka di Indonesia, ini sungguh ironi, mengingat dangdut sendiri berasal dari negeri tercinta ini. Iringan gendang, irama seruling menjadi ciri khas musik yang mengorbitkan nama Inul Daratista itu. Kalau ditanya apa saya suka dangdut, jelas saja saya jawab suka. Lalu kalau apa saya suka musik rock atau jazz, saya jawab ia juga.


Kok plin-plan Fa, bukan plin-plan, tapi saya memang suka musik, tapi yang easy listening. Tapi kalau boleh jujur, dalam kurun waktu lima tahun terakhir saya sangat jarang mendengarkan musik Indonesia. Bukannya saya tidak cinta, tapi rasa bosan melihat aroma musik yang itu-itu saja. Bosan lihat Nidji, bosan lihat ST12 atau bosan melihat Kangen band. Wadalah, boleh percaya atau tidak, untuk tulisan band Repvblik, aku baru tahu tiga hari yang lalu. Saya kira tulisannya pakai ’U’ bukan ’V’, tapi ternyata pakai ’V’. Kalau kata orang Jawa, saya sudah kebacut.


Oh ya, saya hampi lupa menyebutkan band satu ini, The Changcuters. Pertama kali saya dengar pemusik asal Bandung ini di salah satu radio di Surabaya akhir tahun 2007. Waktu itu mereka tak setenar sekarang, mereka hanya band indie yang mencoba menembus belantika musik nasional. Namun tak kusangka setahun kemudian band ini sudah menelurkan hits yang menghebohkan bertajuk ’I Love You Bibeh’. Sebuah lagu yang saya pikir sangat simple, baik lirik maupun teknik bermusik.


Nah, mengenai teknik bermusik, saja jadi ingat musisi andalan saya, Dewa Bujana dan Abdi Negara. Menurut saya, keduanya merupakan motor dari band mareka masing-masing. Band Gigi tentu tidak akan komplet jika Bujana tidak hadir atau absen. Begitu juga Slank dengan Abde. Gitaris memang bukan frontman layaknya seorang vokalis. Axl Rose dengan Gun n’ Rosesnya, Mike Shinoda dengan Linkin Parknya atau Ariel dengan Peterpannya. Bermusik memang tidak hanya mengandalkan vocal dan permainan gitar saja, masih ada bass, drum atau instrument lainnya. Kebetulan saja yang saya contohkan adalah pemetik gitar.


Bicara tentang musik Indonesia, salah satu penyakitnya adalah inkonsistensi. Jarang kita lihat pemusik yang biasa konsisten hingga puluhan tahun, bahkan menjadi legenda seperti Chrisye atau The Beatles. Justru yang saya lihat saat ini banyak sekali band yang terkesan numpang lewat. Tidak perlu saya sebutkan semua pasti sudah tahu kan. Sempat terpikir oleh saya, apa musim pemusik numpang lewat sedang in di negeri tercinta ini. Muak sekali rasanya.


Bila kita flashback ke tahun 90an dimana Kla Project dan Slank mengalami masa keemasan, kita tentu akan melihat perjuangan insan musik yang ingin namanya dicap sebagai musisi handal. Sulit rasanya bisa menyaingi kedua band itu. Slank yang terbalut unsur rock and rollnya atau Kla dengan melankolisnya mampu merajai tangga lagu tanah air. Tapi akhirnya ada beberapa anak muda yang sukses menembus dominasi Kla dan Slank, mereka menamai bandnya Dewa 19. Pentolah Dewa, Dhani Ahmad mengaku, untuk menghidupkan Dewa ditengah dominasi Kla dan Slank sangat sulit. Kala itu, musik Dewa harus berdiri diantara dua band besar yang lagi in. Tapi berkat kerja keras, arek-arek Suroboyo ini nama Dewa 19 tetap berkibar hingga kini.


Perjuangan yang sangat berat. Hidup diantara dua band besar tak membuat Dewa kendur. Justru langkah itulah yang di awal 2000an diekor Peterpan. Dan memang harus diakui Ariel cs memulai langkah awal yang cukup sukses. Sukses Peterpan dan Dewa memenag hasil dari perjuangan yang tidak kenal lelah. Selain perjuangan, kedua band ini memang terlahir dengan segudang kualitas. Kita tentu akan menggelengkan kepala melihat kegilaan Dhani dalam bermusik, atau Ariel dengan kharismanya. Tapi itulah musik, seorang John Lennon tidak akan menghebohkan dunia bila ia tidak mati karena virus AIDS.


Tragisnya, mungkin karena ingin mencontoh kesuksesan musisi di Indonesia, atau mungkin hanya sekedar ingin terkenal, banyak band atau penyanyi baru bermunculan. Tak jelas asal muasalnya. Tak jelas kualitas band atau musiknya. Pokonya asal bisa main gitar, drum, bass dan bisa nyanyi, semuanya beres. Nah, muncul juga acara audisi penyanyi yang disiarkan melalui stasiun televisi. Hasilnya, nol besar, artis karbitan tidak ada yang mampu bersaing di dunia musik yang keras ini. Mereka hanya berhasil menghasilkan satu atau dua hits, dan setelahnya nama mereka perlahan mulai tenggelam.


Apa penyebabnya, apa karena karbitan, atau terlalu instant. Jaman yang menuntut serba cepat ini mungkin menjadi salah satu alasan. Semua minta serba cepat dan instant, kalau perlu tampa perjuangan nama kita sudah berkibar. Kalau mulainya dengan instant, redupnya juga cepat. Lha wong yang sudah punya pondasinya kiuat saja bisa redup, apalagi cuma karbitan.